
JAKARTA, Metro24jam.news- Dalam aksinya di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indonesian Audit Watch (IAW) dan Forum Masyarakat Pemantau Negara (Formapera) tak sebatas melaporkan sejumlah selebritis dan pesohor negeri terkait Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Namun, kolaborasi kedua organisasi juga menyoroti rekayasa Laporan Harta Kekakayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sejumlah pejabat tanah air di level pusat hingga daerah.
Sekretaris Pendiri IAW Iskandar Sitorus menjelaskan, apa yang dilaporkan sebagai dumas ke KPK terkait dugaan pencatatan kekayaan yang tidak sebenarnya didalam LHKPN yang dilakukan secara sadar sebagai sesuatu siasat dalam memenuhi ketentuan perundangan yang berlaku.
“Apa yang kemarin dilakukan IAW dan DPN Formapera jelas bahwa modus-modus tersebut bertujuan untuk mengelabui KPK dari hal yang sesungguhnya sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. Sehingga hal itu menjadi patut untuk diselidiki bahkan disidik KPK berkaca dari penyelidikan terhadap beberapa LHKPN penyelenggara Negara,” tegasnya, Rabu (29/3/23).
Sementara, Ketua Umum DPN Formapera Teuku Yudhistira mengatakan, dari hasil investigasi pihaknya, salah satu rekayasa yang dilakukan dalam LHKPN adalah dugaan pencantuman aset-aset berupa tanah dan bangunan di atasnya. Namun sesungguhnya bukan milik dari Wakil Bupati O di provinsi Sumatera Utara sebab di dalam LHKPNnya disebut memiliki kekayaan sebesar hampir Rp 100 Miliar.
“Kekayaan berupa 19 bidang tanah dan bangunan itu diduga kuat bukan kepemilkan yang sesungguhnya. Merujuk pada sumber pendapatan atau penghasilan sejak O bekerja sampai pensiun 2020 sebagai staf dari seorang Jenderal TNI maka rasionalitas pendapatan itu sangat muskil untuk dipercaya,” tegasnya.
Kata Yudis, dasar untuk bisa menyakini bahwa sejumlah aset yang dicatatkan dimiliki O itu tidak benar karena masa kerja yang bersangkutan hanya dalam rentang 16 tahun dengan pangkat seadanya.
Kemudian pekerjaan atau sumber bisnis lain dan atau kinerja yang terafiliasi kepadanya sama sekali tidak terdata dan terdeteksi secara hukum untuk bisa diyakini sebagai sesuatu sumber penghasilan guna membeli aset hampir Rp 100 miliar tersebut.
Selanjutnya di dalam file rekaman percakapan yang sudah tersebar saat ada pihak yang menagih utang kepada O disebutkan bahwa aset O yang tercatat pada LHKPN sesungguhnya adalah penitipan aset menggunakan namanya.
“Didalam rekaman disebut bahwa nama seseorang itu adalah berinisial Jenderal. Dugaan kami itu modus nominee (pinjam nama/perwakilan) dari penyelenggara Negara lainnya pada saat O masih belum menjadi penyelenggara Negara,” sebutnya.
Patut untuk kita ingat, ujar Yudis, bahwa upaya pinjam nama dilarang oleh Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,” pungkas Yudis.(hendra sembiring)